Nama : Ellen Putri Sa’diyyah
NPM : 22215182
Kelas : 2EB19
Mata kuliah : Aspek Hukum
Dalam Ekonomi
1. HUKUM DAGANG
Hukum dagang
dan hukum perdata adalah dua hukum yang saling berkaitan. Hal ini dapat
dibuktikan di dalam Pasal 1 dan Pasal 15 KUH Dagang.
Hukum Perdata adalah ketentuan
yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam
masyarakat.
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang
dikodifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum
dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang
hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan
perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pasal 1 KUH Dagang, disebutkan
bahwa KUH Perdata seberapa jauh dari padanya kitab ini tidak khusus diadakan
penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam
kitab ini.
Pasal 15 KUH Dagang, disebutkan
bahwa segala persoalan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan
pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata.
Pada awalnya hukum dagang
berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang
mengkodifikasi (mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau
terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan
KUHdagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal
1KUhdagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun mengenai hubungan tersebut
adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang
mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa
terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya.
Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain
itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian
perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah
saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan
seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru
berkembang dalam abad pertengahan.
2. HUKUM HUTANG PIUANG
Aspek-Aspek
yang perlu diketahui dalam masalah hutang piutang
-
Hutang piutang adalah dalam koridor hukum perdata, yaitu aturan
mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnyadengan
menitik beratkan pada kepentingan perseorangan atau pribadi.
-
Dalam hutang piutang terdapat sekurangnya dua pihak kreditur(yang
berpiutang) dan debitur (yang berhutang).
-
Hutang piutang di anggap sah secara hukum apabila dibuat
suatu perjanjian tertulis atau lisan dengan saksi.
-
Debitur wajib untuksuatu prestasi,yang dapat berupa kewajiban
berbuat (melunasi hutang)atau tidak berbuat (ingkar janji pada hutangnya)
sehingga disebut wan-prestasi.
-
Prestasi itu harus tertentu dan dapat ditentukan,wajib di ketahui
dan ditetapkan (perjanjian jelas), prestasi harus mungkin dan halal, serta
prestasi harus berupa perbuatan satu kali dengan sifat sepintas lalu (ada
sebuah benda atau berulang-ulang/terus meneruscontohnya pada sewa menyewa
dan perjanjian kerja).
-
Tanggung jawab perdata penghutang sifatnya menurun pada
keluarga penghutang. Sifat hokum pidana penghutang jika ada tuntutan maka
berhenti sampai pada penghuutang, tidak ke keluarganya.
-
Pemenuhan perutangan itu bertanggung jawab dengan seluruh harta
kekayaannya dan atausesuai dengan harga yang dijaminkan.
-
Eksekusi piutang tidak bisa dilakukan paksa dengan penyanderaan
barang atau orang. Yang benar adalan dengan sitaan jaminan yang diputuskan
oleh pengadilan.
-
Tidak boleh ada ancaman terhadap penghutang, aka nada masalah pidana yang
mana akan menghanguskan hutang.
-
Perhutangan tidak berhenti sendiri melainkan bersama sama dengan
berakibat hukum dengan perutangan lainnya.
Pasal-pasal Tentang Hukum Hutang Piutang Dalam Hukum
Perdata :
·
Pasal 1313 KUHPerdata
Pengertian
perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata
berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih."
Suatu hal
itu adalah prestasi (saling menguntungkan dan tidak saling dirugikan)
Prestasi
dapat berupa:
1.
Sepakat bagaimana menyerahkan/berbagi sesuat
2.
Melakukan sesuatu
3.
Tidak melakukan sesuatu
Persoalan
terkait dengan hukum perjanjian adalah jika salah satu tidak melaksanakan
perjanjian tersebut maka timbul apa yang disebut sebagai Wan-Prestasi.
Suatu perjanjian dinyatakan sah,
apabila memenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
1.Kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Kebebasan bersepakat tersebut
dapat terjadi secara tegas (mengucapkan kata/tertulis) atau secara diam (dengan
suatu sikap/isyarat). Suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan
apabila mengandung salah satu dari 3 (tiga) unsur di bawah ini, yaitu :
a. Unsur paksaan (dwang)
Paksaan ialah paksaan terhadap
badan, paksaan terhadap jiwa, serta paksaan lain yang dilarang oleh
undang-undang.
b. Unsur kekeliruan (dwaling)
Kekeliruan terjadi dalam 2 (dua)
kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang (subjek hukum) dan kekeliruan
terhadap barang (objek hukum).
c. Unsur penipuan (bedrog)
Apabila suatu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan yang tidak benar.
Suatu perjanjian yang tidak
mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat unsur paksaan dan/atau unsur
kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas
waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 1454 KUHPerdata.
2.Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan.
Seseorang dikatakan cakap hukum
apabila telah berumur minimal 21 tahun, atau apabila belum berumur 21
tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Selain itu seseorang itu tidaklah
boleh sedang ditaruh dalam pengampuan (curatele), yaitu orang yang telah
dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila, atau boros. Untuk lebh
jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata yang perlu pula
dihubungkan dengan Pasal 330 KUHPerdata.
3.Suatu hal tertentu.
Ketentuan mengenai hal tertentu
menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara
para subjek hukum itu menyangkut mengenai objeknya, apakah menyangkut benda
berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal
tertentu mengenai objek benda oleh para pihak biasanya ditegaskan dalam
perjanjian mengenai jenis barang, kualitas dan mutu barang, buatan pabrik dan
dari negara mana, jumlah barang, warna barang, dan lain sebagainya.
4.Suatu sebab yang halal (causa
yang halal).
Sebab yang halal/causa yang halal
mengandung pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok
perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum
sehingga perjanjian itu kuat.
Syarat kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut
sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya. Syarat
suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif,
yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
- Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998
Penggunaan istilah kredit juga diatur dalam UU No. 10
Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dalam
pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa:
“Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”
- Pasal 224 Hezien Inlandsch Reglement
Akta
pengakuan Hutang adalah akta yang berisi pengakuan hutang sepihak, dimana
debitur mengakui bahwa dirinya mempunyai kewajiban membayar kepada kreditur
sejumlah uang dengan jumlah yang pasti (tetap).
Sedangkan
yang dimaksud grosse Akta Pengakuan Hutang adalah salinan dari suatu akta
pengakuan hutang Notariil yang diberikan kepada yang berkepentingan. Ia
merupaka salinan dari suatu minuta, yang tetap ada pada pejabat yang
bersangkutan.
Mengenai
Grosse akta ini diatur dalam Pasal 224 Hezien Inlandsch Reglement (HIR).
Berdasarkan pasal 224 HIR diatas, suatu grosse akta harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
- Syarat
Formil: berbentuk notariil dan memuat title eksekutorial
- Syarat
Materil: membuat rummusan pernyataan sepihak dari debitur, pengakuan
berhutang pada kreditur dan pengakuan kewajiban membayar pada waktu yang
ditentukan, tidak memuat ketantuan perjanjian jaminan jumlah hutang sudah
pasti, meliputi hutang pokok plus bunga (ganti rugi)
Apabila
grosse akta memenuhiketantuan/syarat-syarat sebagaimana diatur dalam
pasal 224 HIR maka grosse akta tersebut mempunyai kekuatan eksteritorial
seperti halnya keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
Pihak kreditur dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri, tanpa
melalui proses gugatan perdata terhadap harta kekayaan debitur.
Namun
apabila Grosse akta tidak memnuhi ketentuan atau syarat-syarat sebagaimana
diatur dalam pasal 224 HIR maka Grosse akta tersebut cacat, Yuridis akta
tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga apabila debitur
wanprestasi atau lalai atas kewajibannya, maka bank harus mengajukan gugatan
perdata bisa melalui pengadilan.
Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal
1820-1850 KUHPerdata. Yang diartikan dengan penanggungan adalah:
“Suatu
perjanjian di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya
untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya”
(Pasal 1820 KUHPerdata)
Alasan
adanya perjanjian penanggungan utang ini antara lain karena si penanggung
mempunyai persamaankepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan
kepentingan antara penjamin dan peminjam), misalnya sipenjamin sebagai direktur
perusahaan selaku pemegang saham terbanyak secara pribadi ikut menjamin
hutang-hutang perusahaan tersebut secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang
perusahaan itu dan kedua perusahaan induk ikut menjamin hutang perusahaan
cabang.
Hapusnya
penanggungan utang
Hapusnya
penanggungan hutang diatur dalam pasal 1845-1850 KUHPerdata. Di dalam pasal
1845 KUHPerdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan,
hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya
perikatan lainnya, pasal ini menunjuk kepada pasal 1381,1408, 1424, 1420, 1437,
1442, 1574, 1846, 1938, dan 1984 KUHPerdata.
Didalam
pasal 1381,ditentukan 10 cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang yaitu
pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpangan atau
penitipan; pembaruan hutang; kompensasi hutang; pencampuran hutang; pembebasan
utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya
syarat pembatalan.
Dalam pasal
tersebut menyebutkan bahwa adadelapan cara hapusnya perikatan yaitu :
- Pembayaran
- Penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan.
- Pembaharuan
utang (inovatie)
- Perjumpaan
utang (kompensasi)
- Percampuran
utang.
- Pembebasan
utang.
- Musnahnya
barang yang terutang
- Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan
- Syarat
yang membatalkan.
- Kedaluwarsa
Istilah
jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, dan ada juga yang menyebutkan
dengan istilah jaminan imateriil.
Pengertian
jaminan perorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan
imateriil (perorangan) adalah:
“Jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur
tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.
Unsur jaminan perorangan, yaitu:
1. mempunyai
hubungan langsung pada orang tertentu;
2. hanya
dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan
3. terhadap
harta kekayaan deitur umumnya.
Soebekti mengartikan jaminan
perorangan adalah:
“Suatu perjanjian antara seorang
berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya
kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si
berhutang tersebut”
Menurut Soebekti juga, bahwa maksud
adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin
pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si
penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.
3. HUKUM KONRAK KERJASAMA
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah
atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat.
Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata,
yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut
- Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320
KUH Perdata
Disebut dengan
syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila
tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak
tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak
yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka
kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
1. Adanya kesepakatan kehendak
(Consensus, Agreement)
Dengan syarat
kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh hukum,
kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh
kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak
itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a.Paksaan (dwang, duress)
b.Penipuan (bedrog, fraud)
c.Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana
pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang
berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang
oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal
1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam
pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a.Orang-orang yang belum dewasa
b.Mereka yang berada dibawah pengampuan
c.Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan
berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31
Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah
seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
- Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320
KUH Perdata
Disebut dengan
syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila
tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat
batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah
batal.
3. Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat
perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal
yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita
temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH
Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja
dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal
1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4. Kausa yang diperbolehkan /
halal / legal
Maksudnya
adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai
hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh
undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum
(Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab
yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Atau ada pula
agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan
yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap
sah, sebagai berikut:
1. Syarat sah yang obyektif
berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.Objek / Perihal tertentu
b.Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2. Syarat sah yang subjektif
berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.Adanya kesepakatan dan kehendak
b.Wenang berbuat
3. Syarat sah yang umum di
luar pasal 1320 KUH Perdata
a.Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b.Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan
yang berlaku
c.Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d,Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4. Syarat sah yang khusus
a.Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b.Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c.Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk
kontrak-kontrak tertentu
d.Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk
kontrak-kontrak tertentu
4. HUKUM HUBUNGAN
KARYAWAN DENGAN PERUSAHAAN
Berdasarkan Pasal 1601 a KUHPerdata
memberikan pengertian sebagai berikut: “Perjanjian Kerja adalah suatu
perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah
perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan
pekerjaan dengan menerima upah.”
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka
perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat
(1) UUK yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.Kesepakatan
kedua belah pihak
b.Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c.Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua
belah pihak (Pasal 1 angka 21 UUK).
Dalam Pasal 124 ayat (1) UUK disebutkan bahwa Perjanjian
Kerja Bersama paling sedikit memuat :
a.Hak dan
kewajiban pengusaha;
b.Hak dan
kewajiban serikat pekerja/ buruh serta pekerja/ buruh;
c.Jangka
waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
d.Tanda
tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Perjanjian Kerja yang dibuat oleh pengusaha dan
pekerja/ buruh tidak boleh bertentangan dengan PKB (Pasal 127 ayat (1) UUK).
Dalam hal ketentuan dalam Perjanjian Kerja bertentangan dengan PKB, maka ketentuan
dalam Perjanjian Kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam PKB (Pasal 127 ayat (2) UUK). Demikian halnya jika Perjanjian
Kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam PKB maka yang berlaku adalah
aturan-aturan dalam PKB (Pasal 128 UUK).
SUMBER:
blog-materi.blogspot.co.id
http://yasmineszone.blogspot.com/2011/02/hubungan-hukum-perdata-dengan-hukum.html
Kartika Sari, Elsi.,
Simangunsong, Advendi. 2007. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
http://fahru-creatblog.blogspot.com/2011/04/berlakunya-hukum-dagang.html