Minggu, 30 April 2017

Penulisan 4 : Contoh Kasus HUkum Dagang

Edit Posted by with No comments
CONTOH KASUS HUKUM DAGANG

“Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. 
A.         Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan disewakan untuk     pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya.  Salah satu     cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang     meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya itu.  Salah seorang diantara     pedagang yang menerima ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno,     yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture.  Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.  Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan.  Tarmin bersedia membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.  Kesepakatan antara pengelola PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya.  Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran.  Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991.  Namun pengelola SDP berpendapat sebaliknya.  Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP.  Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya.  Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa.  Selain itu, pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.
B.     Analisis kasus
Setelah pihak PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) mengajak Tarmin Kusno untuk meramaikan sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Surabaya, maka secara tidak langsung PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Tarmin Kusno yang dibuktikan dengan membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT SDP dan Tarmin Kusno mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh PT SDP dan Tarmin Kusno tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW.Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      Suatu hal tertentu;
4.      Suatu sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan, karena pihak PT SDP dan Tarmin Kusno dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT SDP yang dibuktikan dihadapan Notaris.
Namun pada kenyataannya, Tarmin Kusno tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT SDP, dia tidak pernah peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi keras untuk tidak membayarnya.  Maka dari sini Tarmin Kusno bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT SDP setempat melakukan penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Tamrin Kusno di Pengadilan Negeri Surabaya. Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT SDP bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa : Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Dari pasal diatas, maka pihak PT SDP bisa menuntut kepada Tarmin Kusno yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT Surabaya Delta Plaza
Sumber :

Penulisan 3 : Contoh kasus Hukum Hutang Piutang

Edit Posted by with No comments



CONTOH KASUS HUKUM HUTANG PIUTANG DALAM HUKUM PERDATA

Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana?
X meminjam uang kepada Y sebesar Rp. 200.000.000 dan mereka membuat sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian tersebut ada pasal yang berisikan bahwa jika X tidak bisa membayar utang, maka X akan dipenjarakan dalam arti dilaporkan ke pihak berwajib yaitu kepolisian. Pertanyaan: 1. apakah X bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib? Jika bisa, diduga melakukan tindak pidana apa? 2. Jika dalam penagihan Y bermaksud menakut-nakuti dengan cara membawa oknum penegak hukum agar X membayar utang, apakah Y dan oknum penegak hukum tersebut bisa dilaporkan?
Jawaban :
Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 
Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.
Perjanjian Utang Piutang
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.    Suatu hal tertentu.
4.    Suatu sebab yang halal.
Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:
Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 
Dalam praktiknya, saya acapkali mendengar dan mendapati permasalahan utang-piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?
Akan tetapi, saya menemukan pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989:
“bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”
Selain itu sebagai informasi untuk Anda, Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).
Oleh karena itu, menurut hemat saya hal, membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.
Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.

Perbuatan Menakut-nakuti Debitur yang Tidak Membayar Utang
Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, perbuatan Y yang membawa polisi dalam melakukan penagihan utang X, perlu diketahui terlebih dahulu apakah maksudnya adalah “menjadikan polisi sebagai penagih utang”?
Perlu diketahui, dalam menjalankan tugasnya, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.    melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.    melakukan kegiatan politik praktis;
c.    mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d.    bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e.    bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
f.     memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g.    bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h.    menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i.      menjadi perantara/makelar perkara;
j.     menelantarkan keluarga.
Terhadap masyarakat yang dirugikan atas tindakan anggota Kepolisian tersebut dapat mengambil upaya hukum, termasuk melaporkannya kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI.
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4.    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
5.    Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi:
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Rangkuman dari Pasal-pasal di Dalam Hukum Perdata

Edit Posted by with No comments
Nama   : Ellen Putri Sa’diyyah
NPM   : 22215182
Kelas   : 2EB19
Mata kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi
1. HUKUM DAGANG
Hukum dagang dan hukum perdata adalah dua hukum yang saling berkaitan. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Pasal 1 dan Pasal 15 KUH Dagang.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat.
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang dikodifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

Pasal 1 KUH Dagang, disebutkan bahwa KUH Perdata seberapa jauh dari padanya kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini.
Pasal 15 KUH Dagang, disebutkan bahwa segala persoalan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi (mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1KUhdagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.
2. HUKUM HUTANG PIUANG
Aspek-Aspek yang perlu diketahui dalam masalah hutang piutang
  1.     Hutang piutang adalah dalam koridor hukum perdata, yaitu aturan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnyadengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan atau pribadi.
  2.     Dalam hutang piutang terdapat sekurangnya dua pihak kreditur(yang berpiutang) dan debitur (yang berhutang).
  3.      Hutang piutang di anggap sah secara hukum apabila dibuat suatu perjanjian tertulis atau lisan dengan saksi.
  4.      Debitur wajib untuksuatu prestasi,yang dapat berupa kewajiban berbuat (melunasi hutang)atau tidak berbuat (ingkar janji pada hutangnya) sehingga disebut wan-prestasi.
  5.     Prestasi itu harus tertentu dan dapat ditentukan,wajib di ketahui dan ditetapkan (perjanjian jelas), prestasi harus mungkin dan halal, serta prestasi harus berupa perbuatan satu kali dengan sifat sepintas lalu (ada sebuah benda atau berulang-ulang/terus meneruscontohnya pada sewa menyewa dan perjanjian kerja).
  6.      Tanggung jawab perdata penghutang sifatnya menurun pada keluarga penghutang. Sifat hokum pidana penghutang jika ada tuntutan maka berhenti sampai pada penghuutang, tidak ke keluarganya.
  7.     Pemenuhan perutangan itu bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya dan atausesuai dengan harga yang dijaminkan.
  8.     Eksekusi piutang tidak bisa dilakukan paksa dengan penyanderaan barang atau orang. Yang benar adalan dengan sitaan jaminan yang diputuskan oleh pengadilan.
  9.   Tidak boleh ada ancaman terhadap penghutang, aka nada masalah pidana yang mana akan menghanguskan hutang.
  10.    Perhutangan tidak berhenti sendiri melainkan bersama sama dengan berakibat hukum dengan perutangan lainnya.
Pasal-pasal Tentang Hukum Hutang Piutang Dalam Hukum Perdata :
·         Pasal 1313 KUHPerdata
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih."
Suatu hal itu adalah prestasi (saling menguntungkan dan tidak saling dirugikan)
Prestasi dapat berupa:
1.     Sepakat bagaimana menyerahkan/berbagi sesuat
2.      Melakukan sesuatu
3.      Tidak melakukan sesuatu
Persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah jika salah satu tidak melaksanakan perjanjian tersebut maka timbul apa yang disebut sebagai Wan-Prestasi.
  •  Pasal 1320 KUHPerdata
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila memenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
1.Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Kebebasan bersepakat tersebut dapat terjadi secara tegas (mengucapkan kata/tertulis) atau secara diam (dengan suatu sikap/isyarat). Suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung  salah satu dari 3 (tiga) unsur di bawah ini, yaitu :
a. Unsur paksaan (dwang)
Paksaan ialah paksaan terhadap badan, paksaan terhadap jiwa, serta paksaan lain yang dilarang oleh undang-undang.
b. Unsur kekeliruan (dwaling)
Kekeliruan terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang (subjek hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek hukum).
c. Unsur penipuan (bedrog)
Apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.
Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 1454 KUHPerdata. 
2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Seseorang dikatakan cakap hukum apabila telah berumur minimal 21  tahun, atau apabila belum berumur 21 tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Selain itu seseorang itu tidaklah boleh sedang ditaruh dalam pengampuan (curatele), yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila, atau boros. Untuk lebh jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata yang perlu pula dihubungkan dengan Pasal 330 KUHPerdata.
3.Suatu hal tertentu.
Ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek benda oleh para pihak biasanya ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang, kualitas dan mutu barang, buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna barang, dan lain sebagainya.
4.Suatu sebab yang halal (causa yang halal).
Sebab yang halal/causa yang halal mengandung pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.
Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya. Syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
  •  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Penggunaan istilah kredit juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dalam pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”
  •  Pasal 224 Hezien Inlandsch Reglement
Akta pengakuan Hutang adalah akta yang berisi pengakuan hutang sepihak, dimana debitur mengakui bahwa dirinya mempunyai kewajiban membayar kepada kreditur sejumlah uang dengan jumlah yang pasti (tetap).
Sedangkan yang dimaksud grosse Akta Pengakuan Hutang adalah salinan dari suatu akta pengakuan hutang Notariil yang diberikan kepada yang berkepentingan. Ia merupaka salinan dari suatu minuta, yang tetap ada pada pejabat yang bersangkutan.

Mengenai Grosse akta ini diatur dalam Pasal 224 Hezien Inlandsch Reglement (HIR). Berdasarkan pasal 224 HIR diatas, suatu grosse akta harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Syarat Formil: berbentuk notariil dan memuat title eksekutorial
  2. Syarat Materil: membuat rummusan pernyataan sepihak dari debitur, pengakuan berhutang pada kreditur dan pengakuan kewajiban membayar pada waktu yang ditentukan, tidak memuat ketantuan perjanjian jaminan jumlah hutang sudah pasti, meliputi hutang pokok plus bunga (ganti rugi)
Apabila grosse akta memenuhiketantuan/syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal  224 HIR maka grosse akta tersebut mempunyai kekuatan eksteritorial seperti halnya keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap. Pihak kreditur dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri, tanpa melalui proses gugatan perdata terhadap harta kekayaan debitur.
Namun apabila Grosse akta tidak memnuhi ketentuan atau syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal 224 HIR maka Grosse akta tersebut cacat, Yuridis akta tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga apabila debitur wanprestasi atau lalai atas kewajibannya, maka bank harus mengajukan gugatan perdata bisa melalui pengadilan.
  •  Pasal 1820 KUHPerdata
Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820-1850 KUHPerdata. Yang diartikan dengan penanggungan adalah:
“Suatu perjanjian di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya” (Pasal 1820 KUHPerdata)
Alasan adanya perjanjian penanggungan utang ini antara lain karena si penanggung mempunyai persamaankepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan kepentingan antara penjamin dan peminjam), misalnya sipenjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham terbanyak secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan tersebut secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan itu dan kedua perusahaan induk ikut menjamin hutang perusahaan cabang.



Hapusnya penanggungan utang
Hapusnya penanggungan hutang diatur dalam pasal 1845-1850 KUHPerdata. Di dalam pasal 1845 KUHPerdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya, pasal ini menunjuk kepada pasal 1381,1408, 1424, 1420, 1437, 1442, 1574, 1846, 1938, dan 1984 KUHPerdata. 
Didalam pasal 1381,ditentukan 10 cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpangan atau penitipan; pembaruan hutang; kompensasi hutang; pencampuran hutang; pembebasan utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.
  • Pasal 1381 KUHPerdata
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa adadelapan cara hapusnya perikatan yaitu :
  1. Pembayaran
  2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
  3. Pembaharuan utang (inovatie)
  4. Perjumpaan utang (kompensasi)
  5. Percampuran utang.
  6. Pembebasan utang.
  7. Musnahnya barang yang terutang
  8. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan
  9. Syarat yang membatalkan.
  10. Kedaluwarsa
  •  Pasal 1316 KUHPerdata
Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil. 
Pengertian jaminan perorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah:

“Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.
Unsur jaminan perorangan, yaitu:
1. mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;
2. hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan
3. terhadap harta kekayaan deitur umumnya.

Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah:
“Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si berhutang tersebut”
Menurut Soebekti juga, bahwa maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.
3. HUKUM KONRAK KERJASAMA

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut
  • Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.

1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a.Paksaan (dwang, duress)
b.Penipuan (bedrog, fraud)
c.Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu
a.Orang-orang yang belum dewasa
b.Mereka yang berada dibawah pengampuan
c.Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

  • Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.

3.  Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”
4.  Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1.  Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.Objek / Perihal tertentu
b.Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2.  Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a.Adanya kesepakatan dan kehendak
b.Wenang berbuat
3.  Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a.Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b.Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c.Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d,Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4.  Syarat sah yang khusus
a.Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b.Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c.Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d.Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu

4. HUKUM HUBUNGAN KARYAWAN DENGAN PERUSAHAAN

Berdasarkan Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut: “Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) UUK yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.Kesepakatan kedua belah pihak
b.Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c.Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak (Pasal 1 angka 21 UUK).
Dalam Pasal 124 ayat (1) UUK disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Bersama paling sedikit memuat :
a.Hak dan kewajiban pengusaha;
b.Hak dan kewajiban serikat pekerja/ buruh serta pekerja/ buruh;
c.Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
d.Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Perjanjian Kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/ buruh tidak boleh bertentangan dengan PKB (Pasal 127 ayat (1) UUK). Dalam hal ketentuan dalam Perjanjian Kerja bertentangan dengan PKB, maka ketentuan dalam Perjanjian Kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam PKB (Pasal 127 ayat (2) UUK). Demikian halnya jika Perjanjian Kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam PKB maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam PKB (Pasal 128 UUK).
SUMBER:
blog-materi.blogspot.co.id
http://yasmineszone.blogspot.com/2011/02/hubungan-hukum-perdata-dengan-hukum.html
Kartika Sari, Elsi., Simangunsong, Advendi. 2007. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
http://fahru-creatblog.blogspot.com/2011/04/berlakunya-hukum-dagang.html